TANGSEL, RADAR24NEWS.COM-Kisah seorang ibu rumah tangga asal Pamulang, Kota Tangerang Selatan, mendadak viral di media sosial. Bukan karena dagangan pempeknya, melainkan karena keberaniannya membongkar dugaan pungutan liar (pungli) di sebuah sekolah negeri.
Dialah Nur Febri Susanti (38), warga Kelurahaan Benda Baru, Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel. Dalam sebuah unggahan yang menyita perhatian warganet, Nur menceritakan pengalamannya saat mendaftarkan dua anaknya ke SDN Ciledug Barat. Ia mengaku diminta membayar uang seragam sebesar Rp2,2 juta, yang harus ditransfer langsung ke rekening pribadi kepala sekolah.
“Begitu anak saya diterima, saat daftar ulang saya langsung diminta menyiapkan uang seragam Rp1,1 juta per anak. Harus lunas dan ditransfer ke rekening pribadi kepala sekolah,” ungkap Nur saat ditemui tim radar24news.com, Kamis (17/7/2025).
Tak hanya soal nominal yang dinilai janggal, Nur juga mengaku mendapat tekanan. Ia mengaku sempat dilontarkan pernyataan bernada intimidatif oleh kepala sekolah.
“Kepalanya bilang, kalau saya tidak sanggup bayar, lebih baik cari sekolah lain,” tuturnya sambil menunjukkan bukti daftar biaya dan percakapan WhatsApp yang diduga dari pihak sekolah.
SDN Ciledug Barat Disorot, Dinas Pendidikan Turun Tangan

Laporan Nur langsung mengundang perhatian publik. Tak berselang lama, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Tangsel memanggil kepala sekolah SDN Ciledug Barat yang berinisial IH untuk memberikan klarifikasi.
Kepala Bidang Pembinaan SD Disdikbud Tangsel, Didin Sihabudin, membenarkan adanya pemanggilan tersebut.
“Kepala sekolah sudah kami panggil. Ia mengakui kesalahan mencantumkan rekening pribadinya. Namun belum ada transaksi yang terjadi,” ujar Didin kepada wartawan, Jumat (18/7/2025).
Kepsek IH mengklaim, peristiwa tersebut terjadi saat ada dua siswa pindahan dari Jakarta Selatan. Salah satu orang tua menanyakan soal seragam, dan dari sinilah muncul komunikasi soal biaya dan rekening transfer.
“Memang kepala sekolah menyampaikan soal seragam, tapi katanya itu hanya komunikasi awal. Katanya orang tua mau mencicil, makanya dibuka pembicaraan soal rekening,” terang Didin, menyampaikan versi kepala sekolah.
Instagram Sekolah Tiba-Tiba Dikunci, Netizen Makin Curiga

Di tengah ramainya pemberitaan, akun Instagram resmi SDN Ciledug Barat dengan nama @sdn.ciledugbarat mendadak dikunci. Akun yang sebelumnya terbuka untuk publik kini berstatus privat, hanya bisa diakses jika pengguna mengirim permintaan mengikuti terlebih dahulu.
Langkah ini justru menambah kecurigaan publik. Beberapa warganet menduga sekolah sedang mencoba “menghapus jejak digital”.
“Baru viral, langsung digembok. Bukan klarifikasi, malah ngilang,” komentar seorang netizen di unggahan media lokal.
Baca Juga: RS Hermina Ciledug Bikin Ojol Makin Sigap! Belajar Jadi ‘Pahlawan’ di Jalanan
Kejanggalan yang Menguatkan Dugaan
Meski Disdikbud menyebut belum ada transaksi, banyak yang menilai langkah mencantumkan rekening pribadi dalam urusan keuangan sekolah sudah melanggar prinsip transparansi.
“Kalau ini bukan pungli, lantas kenapa bukan rekening komite atau BOS yang digunakan?,” kata Jamil, seorang aktivis pendidikan Tangsel.
Menurutnya, modus ini bukan hal baru. “Rekening pribadi” kerap dijadikan cara memotong birokrasi untuk transaksi yang tak resmi.
Sanksi Masih Menggantung
Hingga berita ini diturunkan, belum ada sanksi konkret yang dijatuhkan kepada kepala sekolah SDN Ciledug Barat. Disdikbud menyatakan akan menunggu hasil pemeriksaan internal.
“Laporan sudah kami teruskan ke pimpinan. Bentuk sanksi akan ditentukan kemudian,” tandas Didin.
Di Balik Seragam, Ada Beban yang Tersembunyi
Dugaan pungli di SDN Ciledug Barat membuka tabir praktik terselubung yang dibungkus rapi dalam formalitas administrasi, masih bercokol di dunia pendidikan. Saat sekolah negeri mulai memungut biaya dengan cara yang tidak transparan, maka publik patut curiga.
Viral di media sosial tak mengubah rutinitas Nur Febri—pempeknya tetap digoreng, bukan masalahnya yang digoreng-goreng. Tapi kali ini, ia bukan hanya ibu rumah tangga biasa. Ia jadi simbol perlawanan kecil dari seorang warga yang lelah melihat pendidikan dikomersialkan dengan cara yang diam-diam, namun menyakitkan.
Editor: Imron Rosadi