TANGSEL, RADAR24NEWS.COM–Demontrasi warga terkait proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 kembali terjadi. Kali ini puluhan warga mendatangi SMAN 10 Tangerang Selatan, Jumat (4/7/2025) pagi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun di lokasi, warga tersebut berasal dari RW 07 dan 08, Kelurahan Sawah Baru, Tegal Rotan. Bahkan bukan hanya menggelar demontrasi, warga juga memblokade pintu gerbang sekolah dengan bambu dan memasang spanduk bertuliskan “Kami Menuntut Warga Tegal Rotan”.
Tangis Tertahan di Balik Gerbang Sekolah
Saiful, salah satu orang tua calon siswa, tampak menahan amarah dan kecewa. Sebab anaknya tidak diterima di sekolah melalui jalur domisili. Padahal, jarak rumahnya tidak jauh dari sekolah.
“Kita tinggal dekat sini. Dari awal katanya domisili jadi prioritas, tapi kok yang diutamakan malah nilai? Jadi bingung, buat apa sosialisasi kalau realisasinya beda,” ujarnya dengan nada getir.
Kisah Saiful bukan satu-satunya. Warga lain, Ida, yang datang dalam aksi serupa turut mempertanyakan mekanisme seleksi SPMB yang mereka nilai tidak transparan dan berubah-ubah.
“Kami menilai aturan SPMB diadil dan transparan,” ujar Ida.
Baca Juga: SMAN 3 Tangsel Digeruduk Warga, Ini Penyebab dan Dampaknya
SMAN 10 Tangerang Selatan: Sekolah Impian yang Sulit Dijangkau
Menurut Ida, SMAN 10 Tangerang Selatan sudah lama menjadi incaran warga Tegal Rotan. Selain karena kualitas pendidikan yang mumpuni, lokasinya yang dekat membuat sekolah ini jadi harapan utama bagi banyak keluarga berpenghasilan menengah ke bawah.
Namun, dalam dua tahun terakhir, penerimaan siswa baru justru menuai polemik. Tahun ini, keluhan itu kembali bergema, menandakan belum tuntasnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem seleksi.
“Matoritas warga sini tidak diterima, padahal sekolah ini menjadi tumpuan bagi kami karena jaraknya yang dekat,” katanya.
Klarifikasi dari Pihak Sekolah
Kepala SMAN 10 Tangsel, Usman, tak menampik bahwa ada kesalahan persepsi di masyarakat. Ia mengatakan bahwa sistem penerimaan tahun ini sudah disosialisasikan sejak awal dan berbeda dengan tahun sebelumnya.
“Masyarakat masih berpikir pakai sistem lama. Padahal, sekarang domisili tetap diperhitungkan, tapi bukan satu-satunya. Nilai tetap menjadi bagian penentu,” jelas Usman.
Untuk itu, pihak sekolah telah melibatkan aparatur desa agar bisa memberi penjelasan yang benar di lapangan. Namun, bagi warga, penjelasan itu datang terlalu terlambat dan dianggap tidak menyelesaikan akar masalah: ketidakadilan dalam akses pendidikan.
Harapan dan Ajakan Dialog
Di balik protes dan spanduk perlawanan, ada harapan yang belum padam. Warga hanya ingin keadilan. Mereka ingin sekolah negeri bisa kembali menjadi milik rakyat, bukan hanya angka-angka di atas kertas.
SMAN 10 Tangerang Selatan menjadi gambaran kecil dari persoalan besar: bagaimana negara mengelola sistem pendidikan yang adil dan merata.
Editor: Imron Rosadi

















































