KOTA TANGERANG, RADAR24NEWS.COM-Di tepi Sungai Cisadane, di bawah temaram cahaya lampion dan desiran angin malam, aroma dupa perlahan menyatu dengan udara. Puluhan pasang mata menatap khusyuk ke arah perahu kayu tua yang berdiri anggun di pendopo Peh Cun, Tanah Gocap, Jumat (29/5/25) malam.
Itulah Perahu Papak di Kota Tangerang, bukan sekadar benda tradisional. Tapi simbol warisan budaya yang telah dijaga turun-temurun sejak 1910. Malam itu, ia kembali dimandikan dalam ritual sakral sebagai bagian dari Festival Peh Cun. Bagi Yap Suling (63), warga keturunan Tionghoa yang telah tiga dekade ikut serta dalam ritual ini, prosesi bukan hanya rutinitas tahunan.
“Setiap kali saya melihat air menyentuh badan perahu, saya merasa seperti menyucikan ingatan saya sendiri… akan nenek saya yang dulu juga ikut ritual ini,” tuturnya, matanya berkaca-kaca.
Baca Juga: Digitalisasi Pajak Berbuah Manis, Kas Daerah Tangerang Makin ‘Gemoy’
Lebih dari Tradisi: Ini Soal Identitas
Ritual memandikan Perahu Papak dilakukan bukan semata membersihkan debu yang menempel, tapi juga sebagai bentuk penyucian spiritual. Air sungai yang telah diberkahi dipercikkan ke badan perahu, disertai doa dan musik tradisional yang menyayat sunyi malam.
“Ini bukan hanya tentang tradisi, tapi tentang menjaga hubungan antara manusia, alam, dan para leluhur,” kata Js Yap Cun Goan, rohaniawan yang memimpin upacara. Menurutnya, momen ini mengajarkan makna harmoni dalam kehidupan.
Pusat Magnet Wisata dan Spiritualitas
Ritual ini menjadi salah satu momen yang paling ditunggu dalam Festival Perahu Naga Peh Cun. Bahkan, wisatawan dari berbagai kota hingga mancanegara kerap datang hanya untuk menyaksikan Perahu Papak di Kota Tangerang dimandikan.
Menurut catatan sejarah, perahu ini adalah pemberian Kapitan Oey Khe Tay kepada Kelenteng Boen Tek Bio. Selama lebih dari seabad, ia tetap menjadi ikon budaya yang dirawat dengan penuh cinta.
“Anak saya yang masih kecil ikut menyaksikan malam ini. Saya ingin dia tahu, ini bukan cerita dongeng. Ini adalah bagian dari siapa kita,” ujar Maria Siauw (35), warga Karawaci, sambil menggandeng tangan putranya.
Menjaga Api Warisan di Tengah Kota yang Modern
Di tengah derap pembangunan dan deru kendaraan kota, ritual seperti ini menjadi oase spiritual yang mengikat masa lalu dengan masa kini. Perahu Papak di Kota Tangerang bukan hanya benda; ia adalah jembatan yang menghubungkan generasi, mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan, hormat, dan kebersamaan.
Saat malam kian larut, asap dupa masih mengepul dan doa-doa masih bergema. Di sinilah, warisan budaya bukan sekadar dikenang, tetapi benar-benar hidup.
Editor: Imron Rosadi
 
			 
                                






































 
					




