JAKARTA, RADAR24NEWS.COM–Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang guru besar di Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggemparkan dunia pendidikan tinggi. Dugaan ini tak hanya mengusik ketenangan kampus, tapi juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan akademik di lingkungan perguruan tinggi.
Ketua DPR RI Puan Maharani menanggapi serius kasus tersebut dan menegaskan bahwa tidak boleh ada toleransi terhadap kekerasan seksual di institusi pendidikan. Ia mendesak reformasi total terhadap tata kelola etika kampus dan pembimbingan akademik.
“Kekerasan seksual, apalagi di lingkungan pendidikan, tak boleh diberi ruang sedikit pun. Para pelaku harus mendapat hukuman yang paling berat,” tegas Puan dalam keterangannya, Kamis (10/4/2025).
Baca Juga: Dilepas Gibran, Prabowo Bawa Misi Perdamaian dan Diplomasi ke Timur Tengah
Modus Bimbingan Akademik di Luar Kampus
Kasus yang menyeret dosen senior UGM itu diduga melibatkan belasan mahasiswi dan terjadi dalam periode 2023 hingga 2024. Pelaku disebut memanfaatkan posisi sebagai pembimbing akademik untuk melakukan pelecehan seksual dengan modus bimbingan skripsi atau tesis di kediamannya, bukan di lingkungan kampus.
“Tindakan seperti ini mencoreng nama baik institusi pendidikan tinggi dan merusak kepercayaan publik terhadap integritas dunia akademik,” tambah Puan.
Reformasi Etika Kampus dan Audit Pembimbingan Akademik
Politisi PDI Perjuangan tersebut menegaskan perlunya audit menyeluruh terhadap sistem pembimbingan akademik. Ia menilai bahwa relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa dapat menjadi celah berbahaya jika tidak diawasi secara ketat.
“Relasi kuasa bisa dimanfaatkan untuk tindakan menyimpang. Kampus harus membangun sistem pengawasan yang ramah korban dan memastikan setiap laporan ditangani secara serius,” ujarnya.
Puan juga menekankan peran strategis Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di kampus. Menurutnya, Satgas harus aktif menerima aduan, melindungi korban, dan memberikan rekomendasi sanksi kepada pelaku tanpa pandang bulu.
Komnas Perempuan Dorongan Proses Hukum Transparan
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyatakan bahwa kekerasan seksual di kampus bukanlah kasus baru. Ia mengungkapkan bahwa banyak korban merasa takut untuk melapor karena khawatir tidak dipercaya atau mendapatkan tekanan sosial.
“Satgas kampus harus menjadi garda terdepan. Mereka wajib mendampingi korban, mengumpulkan bukti, dan memberikan rekomendasi tegas kepada pihak kampus,” ungkap Aminah.
Ia juga menekankan pentingnya visum, pendampingan psikologis, serta opsi pelaporan paralel ke aparat penegak hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Gelombang Protes Warganet dan Desakan Penegakan Hukum
Di media sosial, isu ini menjadi perbincangan hangat. Warganet ramai-ramai mengecam kasus tersebut dan meminta agar tidak ada lagi penyelesaian secara kekeluargaan yang merugikan korban. Mereka menuntut pelaku dihukum seberat-beratnya dan sistem kampus dibenahi secara menyeluruh.
“Jangan mau diselesaikan secara damai! Tempuh jalur hukum agar pelaku jera,” tulis akun @weaweaweador di platform X.