JAKARTA, RADAR24NEWS.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa sebanyak 29 hakim di Indonesia terjerat dalam kasus korupsi sejak 2011 hingga 2024. Kasus terbaru yang mencuat adalah suap terkait vonis lepas terhadap terdakwa korporasi dalam perkara ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng, yang turut mencoreng wajah peradilan di Indonesia. ICW mencatat, praktik mafia peradilan ini tidak hanya merugikan keadilan, tetapi juga menciptakan impunitas bagi para korporasi yang terlibat dalam korupsi.
Berdasarkan pemantauan ICW, hakim-hakim yang terlibat dalam kasus korupsi tersebut diduga menerima suap untuk mengatur jalannya persidangan dan hasil putusan. Total nilai suap yang diterima hakim-hakim ini disinyalir mencapai lebih dari Rp 107 miliar lebih. Angka ini mencerminkan betapa luasnya praktik korupsi yang terjadi dalam sistem peradilan, yang diduga melibatkan banyak pihak dengan kepentingan politik dan ekonomi.
“Sejak 2011 hingga 2024, kami telah mencatat sebanyak 29 hakim yang terlibat dalam kasus korupsi. Kasus suap terkait vonis lepas dalam perkara ekspor CPO adalah contoh nyata dari mafia peradilan yang masih beroperasi dan merugikan masyarakat,” ujar Kurnia Ramadhana, Peneliti ICW, dalam keterangan tertulis yang diterima Radar24news.com, Rabu (16/4/2025).
Baca Juga: Tiga Hakim Terima Suap Rp22 Miliar, Putusan Onslag Jadi “Hadiah”
Kasus Suap vonis Lepas CPO
Kasus yang paling mencolok adalah suap yang melibatkan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait perkara ekspor CPO. Dalam kasus ini, tiga terdakwa dari korporasi yang terlibat dalam ekspor ilegal CPO berhasil lolos dari jeratan hukum berkat suap yang diberikan kepada para hakim.
ICW menilai bahwa lolosnya para terdakwa tersebut mencerminkan bagaimana kepentingan oligarki dapat memengaruhi jalannya penegakan hukum di Indonesia. Para oligarki ini, kata ICW, dengan mudahnya mendapatkan impunitas dari hukuman melalui pemberian suap kepada hakim yang memimpin persidangan.
“Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuatan uang dapat mengalahkan sistem hukum yang seharusnya independen. Para oligarki yang memiliki sumber daya finansial mampu mengatur hasil putusan pengadilan melalui suap,” tegas Kurnia.
Desakan ICW terhadap Mahkamah Agung
Menanggapi kasus ini, ICW mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk lebih serius dalam memetakan potensi korupsi yang ada di lembaga pengadilan. ICW juga mendorong agar MA bekerja sama dengan Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan elemen masyarakat sipil untuk melakukan reformasi yang lebih menyeluruh dalam sistem peradilan.
“MA harus memetakan potensi korupsi di lembaga pengadilan dan memastikan bahwa hakim yang terlibat dalam praktik mafia peradilan ini diberikan sanksi tegas. Hal ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan kita,” ujar Kurnia.
Korporasi Masih Mendominasi Kasus Korupsi
Selain itu, ICW juga mencatat bahwa pengusaha atau korporasi masih mendominasi dalam kasus korupsi yang ditangani oleh pengadilan. Sepanjang tahun 2023, ICW mencatat bahwa 252 pengusaha atau individu berlatar belakang swasta terlibat dalam persidangan kasus korupsi. Di tingkat pengadilan negeri, tiga korporasi diproses, sedangkan di pengadilan tinggi terdapat enam korporasi yang menjalani sidang.
ICW menilai bahwa kasus ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia sering kali tidak berjalan adil bagi semua pihak. Korporasi dengan kekuatan ekonomi dan jaringan yang kuat sering kali dapat “mengatur” jalannya persidangan melalui suap atau pengaruh lainnya.
“Diperlukan instrumen hukum yang lebih kuat untuk menjerat korporasi dalam kasus korupsi. Temuan ICW setiap tahun menunjukkan bahwa individu dengan latar belakang swasta sering berada di posisi teratas sebagai pelaku korupsi,” kata Kurnia.
Tersangka Kasus Suap CPO
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus suap terkait vonis lepas dalam perkara ekspor CPO. Tersangka tersebut terdiri dari Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta, pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto, Panitera Muda PN Jakut Wahyu Gunawan, serta tiga hakim yang memberikan vonis lepas, yaitu Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Selain itu, Muhammad Syafei, Head of Social Security and License Wilmar Group, juga terlibat dalam suap ini.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan bukan hanya hakim, tetapi juga pengacara, panitera, dan pihak perusahaan besar yang diduga memberikan suap untuk mengatur jalannya persidangan.