LEBAK, RADAR24NEWS.COM–Harga kedelai yang terus melonjak hingga mencapai Rp12.000 per kilogram di pasar tradisional, Kabupaten Lebak. Hal tersebut menyebabkan banyak pengrajin tahu dan tempe di Kabupaten Lebak menghadapi kesulitan. Kenaikan harga ini disebabkan oleh ketergantungan Indonesia, termasuk Kabupaten Lebak, terhadap pasokan kedelai impor. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lebak, Rahmat, menjelaskan bahwa impor kedelai yang masih mendominasi pasar lokal menjadi salah satu faktor utama kenaikan harga bahan baku tersebut.
Ketergantungan pada Impor Kedelai Menyebabkan Lonjakan Harga
Menurut Rahmat, Ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai, khususnya dari Amerika Serikat yang menyuplai sekitar 88% kebutuhan kedelai nasional, membuat pasar lokal sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Saat pasokan kedelai dari negara pengimpor terganggu, harga di dalam negeri pun ikut melonjak.
“Ketergantungan kita terhadap kedelai impor memang sangat besar. Negara pengimpor utama seperti Amerika Serikat dan Kanada memiliki kontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan kedelai di Indonesia. Ketika pasokan terbatas, harga pun akan melonjak,” ujar Rahmat, Senin (28/4/2025).
Pada 2025, proyeksi impor kedelai Indonesia diperkirakan akan mencapai 2,6 juta metrik ton, naik sedikit dari perkiraan sebelumnya yang hanya 2,55 juta ton. Kondisi ini semakin menambah beban pasar lokal, yang harus bergantung pada pasokan dari negara pengimpor.
“Akibat pasokan kedelai itu menipis, harga pasti naik,” kata Rahmat.
Baca Juga: Kedelai Mahal, Perajin Tempe di Lebak Terpaksa Kurangi Produksi dan PHK Karyawan
Masalah Produksi Kedelai Lokal yang Belum Optimal
Selain ketergantungan pada impor, rendahnya produksi kedelai lokal menjadi faktor tambahan yang memperburuk situasi. Rahmat mengungkapkan bahwa petani kedelai di Kabupaten Lebak masih menghadapi banyak kendala dalam meningkatkan produksi kedelai, seperti keterbatasan lahan dan usia petani yang relatif tua. Rata-rata usia petani kedelai di Kabupaten Lebak adalah 43 tahun, dengan luas lahan garapan yang hanya mencapai 0,91 hektare per petani.
“Petani kedelai di Lebak sebagian besar masih berusia 43 tahun ke atas, dan luas lahan yang mereka kelola sangat terbatas. Ini yang membuat produksi kedelai lokal kita belum optimal, dan ketergantungan pada impor menjadi tinggi,” terang Rahmat.
Upaya Peningkatan Produksi Kedelai Lokal
Sebagai respons terhadap kondisi ini, Dinas Pertanian Kabupaten Lebak terus berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai lokal. Salah satu langkah yang diambil adalah memberikan pelatihan kepada petani kedelai untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam bercocok tanam kedelai dengan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
“Kami sedang fokus untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kedelai lokal. Dengan melakukan pelatihan dan mendukung petani dengan teknologi pertanian yang tepat, kami harap produksi kedelai di Kabupaten Lebak bisa meningkat dan mengurangi ketergantungan pada impor,” tambah Rahmat.
Harga Kedelai Menghambat Produksi Tahu-Tempe di Lebak
Diberikan sebelumnya, pengrajin tahu dan tempe di Kabupaten Lebak, yang bergantung pada kedelai sebagai bahan baku utama, harus menghadapi kenaikan harga ini dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mengecilkan ukuran tahu untuk mempertahankan harga jual. Salah seorang pengrajin tahu, Wahyu, mengungkapkan bahwa meskipun harga kedelai naik, dia harus berinovasi untuk tetap mempertahankan daya beli konsumen.
“Karena harga kedelai naik, kami terpaksa mengecilkan ukuran tahu yang biasa kami buat. Tapi harga tetap sama agar pembeli tetap bisa membeli tahu. Kalau kami naikkan harga, pasti ada penurunan pembeli,” ujar Wahyu.
Bagi pengrajin, kenaikan harga kedelai tidak hanya memengaruhi biaya produksi, tetapi juga mengancam keberlangsungan usaha mereka, yang sebagian besar bergantung pada daya beli masyarakat.
Editor: Imron Rosadi